DALAM pandangan Islam, iman adalah pengakuan kebenaran yang dilakukan oleh hati, dan pernyataan yang diutarakan oleh ucapan. Di sini, akal tidak memiliki tempat bagi bersemayamnya iman, karena sesungguhnya hati merupakan pusat berpusarnya seluruh rasa manusia. Hal ini perlu dicermati, karena sesungguhnya iman adalah sebuah cita rasa yang tinggi, sedangkan akal merupakan media penghantar menuju keimanan melalui fase-fase yang mengarah ke sana.
Hakikat-hakikat ilahiah yang diakui dan dibenarkan oleh akal pikiran, tetapi tidak disertai dengan pengakuan yang bersumber dari hati, tidak akan menghasilkan keimanan yang hakiki. Selama iman tidak bersemayam di hati, maka tidak akan diikuti dengan perbuatan, dan tidak pula melahirkan perilaku dan tindakan yang baik. Jika ini terjadi, maka amal perbuatan tiada artinya di sisi Allah Subhanahu Wata’ala. Orang-orang yang mengetahui hakikat-hakikat ilahiah tetapi tidak memahami dan menghayatinya (akibat kelalaian hatinya), dianggap sama dengan keledai yang memikul lembaran-lembaran kitab suci yang tebal.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
Ł
َŲ«َŁُ Ų§ŁَّŲ°ِŁŁَ ŲُŁ
ِّŁُŁŲ§ Ų§ŁŲŖَّŁْŲ±َŲ§Ų©َ Ų«ُŁ
َّ ŁَŁ
ْ ŁَŲْŁ
ِŁُŁŁَŲ§ ŁَŁ
َŲ«َŁِ Ų§ŁْŲِŁ
َŲ§Ų±ِ ŁَŲْŁ
ِŁُ Ų£َŲ³ْŁَŲ§Ų±Ų§ً ŲØِŲ¦ْŲ³َ Ł
َŲ«َŁُ Ų§ŁْŁَŁْŁ
ِ Ų§ŁَّŲ°ِŁŁَ ŁَŲ°َّŲØُŁŲ§ ŲØِŲ¢ŁَŲ§ŲŖِ Ų§ŁŁَّŁِ ŁَŲ§ŁŁَّŁُ ŁَŲ§ ŁَŁْŲÆِŁ Ų§ŁْŁَŁْŁ
َ Ų§ŁŲøَّŲ§ŁِŁ
ِŁŁَ
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS: al-Jumu’ah: 5)
Oleh sebab itu, mengetahui hakikat ilahiah (ma’rifatullah) bukan hanya mengumpulkan dan menumpuk file hakikat itu dalam benak kita, tetapi juga bisa mengungkap rahasia sistem besar dalam kehidupan dan alam semesta melalui pemikiran, renungan, dan perbuatan yang diperlukan untuk mencapai ma’rifat tersebut. Siapapun yang melakukan hal tersebut, maka hatinya akan dipenuhi oleh sinaran cahaya keimanan.
Suatu hasil yang dicapai oleh akal ketika memikirkan tentang manusia, alam semesta dan al-Qur’an yang dianggap sebagai cermin hakikat hakikat tersebut seperti halnya bahan mentah pertambangan, yang dikeluarkan dari perut bumi. Sedangkan pengolah bahan mentah pertambangan tersebut menjadi sesuatu yang berguna dan bernilai tinggi adalah hati. Karena hati adalah pusat perenungan, tafakkur, dan perasaan.
Tatkala perasaan hati yang diungkapkan sebagai “intuisi, bisikan hati, ilham, dan inspirasi” berpadu dengan dalil-dalil yang dikemukakan oleh akal pikiran, maka sesungguhnya ia akan menghasilkan sebuah pengetahuan yang sempurna terhadap hakikat. Ini seperti proses merajut kembali serpihan-serpihan sebuah pot keramik yang hancur berantakan, kepada bentuk awalnya.
Dengan kata lain, bentuk pencapaian yang baik dan sempurna terhadap kebenaran dan kebaikan akan terjadi bilamana akal telah dididik oleh wahyu, diiringi dengan pengakuan kekurangan yang dimiliki oleh akal terhadap sesuatu yang tidak bisa dicapai olehnya, juga disertai dengan penjelajahan di relung-relung hati nan matang di bawah cahaya keimanan. Harga sebuah tafakkur juga ditentukan oleh proses pengasahannya melalui berbagai perenungan, atau dengan kata lain ia memiliki kemampuan untuk bekerja sesuai dengan arahan hati dan pikiran, dalam keseimbangan yang sempurna.
Jika manusia hanya mementingkan akal dan pikiran semata, mungkin ia menjadi manusia duniawi yang baik, yaitu manusia pragmatis (pencari keuntungan). Tapi agar ia menjadi mukmin yang sempurna, maka ia harus melatih hatinya yang merupakan pusat kesadaran dan perasaan, dengan pendidikan spiritual. Lalu hati harus menjadi pembimbing bagi akal, karena hati adalah pusat kesadaran yang mengarahkan akal untuk berpikir. Sementara berpikir diarahkan akal menuju kehendak. Bisa dikatakan bahwa sebab mendasar bagi munculnya perbuatan-perbuatan yang didasari oleh kehendak adalah hati, yang merupakan tempat di mana kesadaran menancap dan mengakar.
Dari sudut ini, maka menempatkan dan memantapkan hati dalam bingkai perintah-perintah Allah adalah hal yang paling penting dibanding anggota tubuh yang lain. Karena pemikiran rasional dalam kendali kehendak syahwat dan tanpa bimbingan dari hati yang sehat, serta di bawah kendali penyakit-penyakit hati seperti ujub dan sombong akan membuat pemikiran itu menyimpang dan membawa manusia ke dalam kesesatan dan penyimpangan seperti setan.
Jalaluddin Rumi berkata: “Andai setan tidak menjunjung tinggi akal pikirannya saja, tentu ia tidak akan terdegradasi ke dalam kondisi yang ia alami saat ini.”
Artinya, akal tidak berguna dan tidak bernilai dengan sendirinya. Akal harus dikendalikan dengan cermat. Kesadaran spiritual dalam hati harus dimatangkan dan disempurnakan demi terwujudnya akal yang benar-benar lurus. Singkatnya, setiap tafakkur hakiki bermula dari suatu titik di mana ada akal yang bersinar dengan cahaya wahyu dan hati yang matang secara spiritual. Dan ketika menggunakan konsep tafakkur, maka yang dimaksud adalah bentuk tafakkuryang absah, yaitu tafakkur yang dibimbing dan dibekali dengan hakikat-hakikat ilahi, serta dikukuhkan oleh perenungan hati. Arti kata tafakkur adalah mendalami dan menyelami sesuatu untuk mengambil pelajaran.
Ta’ammul adalah berpikir terus-menerus, berpikir secara seksama, serta mencermati berbagai peristiwa dan alam semesta untuk mengambil pelajaran, nasihat dan mencapai hakikat. Sedangkan tadabbur adalah memikirkan dampak dan akibat perbuatan tertentu. Tapi saat ini, kita mengungkapkan semua istilah di atas dengan satu kata, yaitu “tafakkur”.
Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan dampak pahit dari destruksi mengerikan yang terjadi pada bahasa kita, yang bertujuan untuk melepaskan bangsa kita yang terhormat ini dari budaya Islam yang otentik. Hal itu karena manusia berpikir menggunakan kata kata, sedangkan konsep-konsep dan kata-kata yang menjadi sarana dan alat ekspresinya, tidak akan terbuka terhadap cakrawala pemikiran Islam yang mendalam dan luas dengan lidah yang lemah, kacau dan terbatas.
Dari sisi ini, kita harus mengawal kata-kata yang berasal dari budaya Islam dan menghidupkan kata-kata tersebut dengan memakainya dan sama sekali mengabaikan setiap bahasa yang dusta dan palsu, yang bermaksud menggantikan budaya Islam yang bersumber dari Al-Qur’an.*/Abdurrahman Hilabi, mahasiswa Pascasarjana UIKA
Editor: By Ghadin Inton
0 komentar:
Post a Comment